Beranda | Artikel
Hidup dalam Keterasingan
Kamis, 19 Januari 2017

Bismillah.

Dalam sebuah hadits sahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Islam itu datang dalam keadaan asing dan akan kembali menjadi asing seperti ketika ia datang…” (HR. Muslim)

Hadits ini menggambarkan kepada kita bahwa sesungguhnya dakwah tauhid yang dibawa oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dianggap sebagai sesuatu yang asing dan aneh. Ketika Rasul mengajak mereka kepada kalimat tauhid maka mereka pun berkata (yang artinya), “Apakah dia -Muhammad- itu hendak menjadikan sesembahan-sesembahan ini menjadi satu sesembahan saja. Sesungguhnya ini benar-benar perkara yang mengherankan.”

Demikianlah kondisi dakwah tauhid di awal kedatangannya di tengah masyarakat jahiliyah yang telah bergelimang dengan syirik dan kekafiran. Iman dan tauhid dianggap sebagai sesuatu yang asing dan aneh. Sebaliknya, syirik dan kekafiran dianggap sebagai sebuah tradisi dan keyakinan yang sudah wajar dan layak untuk dipertahankan. Padahal apabila manusia mau memikirkan dengan baik sesungguhnya syirik dan kekafiran itulah yang tidak bisa diterima oleh fitrah dan akal sehat.

Orang-orang musyrik pun jika ditanya ‘siapakah yang menciptakan mereka, siapa yang memberikan rezeki kepada mereka, siapa yang mengatur segala urusan’ maka mereka menjawab ‘Allah’. Meskipun demikian ternyata mereka tidak konsisten dengan pengakuannya itu. Sebab apabila mereka konsisten dengannya tentulah mereka hanya beribadah kepada Allah semata. Dan fenomena serupa terus terjadi di sepanjang masa. Seolah mereka tidak pernah sadar bahwa setan sedang memperdaya dan mengelabui mereka dengan sejuta kepalsuan dan angan-angan.

Keterasingan Islam ini telah dialami oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya di awal sejarah Islam. Maka demikian pula di masa-masa sekarang ini keterasingan Islam itu kembali dirasakan oleh para ulama dan da’i tauhid serta pengikut setia mereka. Ketika ajaran dan nilai-nilai Islam sudah luntur dan keyakinan Islam sudah banyak dirusak dan diragukan. Ketika kemurnian ajaran Islam justru dianggap sebagai barang aneh dan bahkan disingkirkan.

Oleh sebab itu pada bagian akhir hadits itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan, “Maka beruntunglah orang-orang yang asing itu. Yaitu orang-orang yang tetap baik ketika manusia menjadi rusak.” Dalam riwayat lain dikatakan, “Orang-orang yang memperbaiki apa-apa yang telah dirusak oleh manusia -dari ajaranku-.”

Ketika kemungkaran sudah merebak dan dianggap sebagai perkara yang biasa. Suatu yang haram telah menjadi konsumsi sehari-hari mereka. Keyakinan yang menyimpang pun telah mengurat dan mengakar di dalam kehidupan dan tradisi mereka. Maka dalam kondisi semacam ini menegakkan dakwah dan konsisten beribadah adalah sebuah keutamaan yang sangat besar. Seperti yang disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Beribadah dalam kondisi harj/kekacauan adalah seperti berhijrah kepadaku.” (HR. Muslim)

Pada kondisi semacam inilah perintah untuk sabar itu semakin ditekankan. Baik itu sabar dalam menjalankan ketaatan, sabar dalam menjauhi maksiat, ataupun sabar dalam menghadapi musibah yang terasa menyakitkan. Seperti yang dikatakan oleh sahabat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu, “Sabar di dalam iman laksana kepala bagi tubuh…”

Begitu pula dalam kondisi semacam ini setiap hamba hendaklah banyak berintrospeksi diri dan menjaga lisannya dari ucapan dan komentar yang semakin memperburuk keadaan. Sabar dalam mengendalikan lisan. Sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian salaf, “Tidak ada di dunia ini yang lebih butuh untuk dipenjara dalam waktu lama selain lisan.”

Tidakkah kita mengambil pelajaran dari berbagai negara Islam yang telah diterpa badai fitnah dan kekacauan serta huru-hara yang seolah tak berkesudahan?! Sebab diantara sebab-sebab buruknya keadaan mereka itu adalah karena lisan-lisan yang tidak dikendalikan. Karena ucapan-ucapan yang tidak dikontrol dengan kaidah dan syari’at agama. Karena lisan manusia telah berubah menjadi senjata otomatis pemusnah adab dan perusak ketentraman masyarakat. Banyaklah bertebaran isu dan kabar burung. Menjamurlah ghibah, namimah, dan celaan kepada ulama dan penguasa. Orang-orang pun mengangkat orang-orang jahil sebagai panutan dan pemuka mereka. Mereka pun berfatwa tanpa ilmu, sehingga mereka sesat dan menyesatkan manusia…

Dalam kondisi semacam inilah kita patut mengingat sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Bersegeralah kalian dalam beramal sebelum datangnya fitnah-fitnah seperti potongan-potongan malam yang gelap gulita. Pada pagi hari seorang masih beriman lalu di sore harinya berubah menjadi kafir atau di sore hari beriman lantas pagi harinya menjadi kafir. Dia menjual agamanya demi mendapatkan secuil perhiasan/kesenangan dunia.” (HR. Muslim)

Dalam kondisi semacam ini pula hendaknya kita selalu ingat sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidaklah sempurna iman salah seorang dari kalian sampai dia mencintai bagi saudaranya apa-apa yang dicintainya bagi dirinya sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Kita pun ingat sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Seorang muslim yang baik itu adalah yang membuat kaum muslimin yang lain selamat dari lisan dan tangannya.” (HR. Bukhari)

Pada kondisi semacam ini hendaklah kita banyak mendoakan penguasa kaum muslimin di negeri ini dan di negara-negara Islam yang lain, agar Allah berikan taufik kepada mereka kepada kebenaran dan keadilan, karena baiknya penguasa akan membuahkan kebaikan bagi rakyatnya. Sebaliknya, buruknya tingkah laku rakyat juga akan berdampak kepada negara. Allah pun telah menegaskan (yang artinya), “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum kecuali apabila mereka sendiri yang mengubah apa-apa yang ada pada diri mereka.” (ar-Ra’d : 11)

Dalam keadaan seperti inilah semestinya kita banyak-banyak bertaubat dan beristighfar kepada Allah. Kembali menekuni ilmu agama kita. Kembali merenungkan ayat-ayat Allah dan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Seperti yang diterangkan oleh Allah dalam ayat (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku niscaya dia tidak akan tersesat dan tidak pula celaka.” (Thaha : 123).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya niscaya Allah pahamkan dia dalam hal agama.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Belajar dan teruslah belajar -wahai saudaraku- karena sesungguhnya apa-apa yang belum kita ketahui jauh lebih banyak daripada apa yang sudah kita ketahui. Dan apa-apa yang belum kita amalkan dari apa yang sudah kita ketahui pun bisa jadi jauh lebih banyak daripada apa yang sudah kita amalkan. Dan bisa jadi apa-apa yang kita amalkan itu pun masih banyak yang jauh dari keikhlasan dan kesesuaian dengan tuntunan. Serahkan segala urusan kepada ahlinya, karena salah satu tanda dekatnya hari kiamat itu adalah ketika suatu urusan telah diserahkan kepada orang-orang yang bukan ahlinya!! Renungkanlah nasihat salah seorang ulama salaf, “Jika kamu mampu untuk menjadi pendengar pembicaraan -bukan pembicara- maka lakukanlah!”

Kepada Allah semata kita memohon taufik dan pertolongan.


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/hidup-dalam-keterasingan/